Andri Rizki Putra, 23, mengidamkan sistem pendidikan yang jujur.
Bukan hanya berharap, dia memilih untuk mendirikan lembaga pendidikan
sendiri yang mengutamakan kejujuran murid-muridnya.
* * *
BUNYI lonceng di salah satu sudut sekolah menandai berakhirnya ujian
nasional (unas) pada pertengahan 2006 lalu. Andri Rizki Putra yang saat
itu masih SMP bergegas keluar kelas. Terik siang yang menyelimuti
Jakarta kala itu menemani langkah kakinya yang cepat menyusuri
teras-teras panjang kelas. Dia buru-buru ingin bertemu kepala sekolah.
Belum sampai mengetuk pintu ruang kepala sekolah, dia bertemu salah
seorang guru.
”Kenapa ingin ke kantor kepala sekolah?” tanya sang guru. Tanpa
takut, remaja dengan seragam putih biru itu bilang bahwa dirinya ingin
mengadukan buruknya sistem ujian nasional. Bagaimana bisa, tanya Rizki,
guru-guru tutup mata bahwa murid-murid peserta ujian menyontek dengan
bebas? Bahkan, guru mengirim kunci jawaban lewat pesan pendek? ”Buat apa
pintar kalau didapat dari ketidakjujuran?” tegasnya.
Bagi Rizki, apa yang dia alami adalah suatu yang tidak masuk akal.
Apalagi, saat sang guru justru balik bertanya kenapa. ”Kenapa Rizki tak
bilang ke saya (untuk dapat sontekan)? Nanti pasti kamu dapat nilai yang
lebih bagus,” kata guru itu, lantas mencegah Rizki bertemu kepala
sekolah.
Padahal, tanpa menyontek, Rizki bisa lulus dengan nilai bagus.
Rata-rata nilai yang dia dapatkan dalam tiga mata pelajaran, bahasa
Indonesia, bahasa Inggris, dan Matematika, adalah 8,75. Ironi tak mandek
di situ. Teman-teman sekolah Rizki yang notabene siswa salah satu SMP
unggulan di Jakarta Selatan justru mengucilkannya.
Tentangan sosial membuat hari-hari kelulusan semakin berat. Sempat
dia berpikir hendak melapor ke Indonesia Corruption Watch (ICW) dan
mengekspose ke media, namun ditahan orang-orang dekatnya. Rizki drop dan
depresi. Dia menghabiskan masa-masa menjelang SMA dengan mengurung diri
di kamar dan enggan keluar rumah.
Saat masuk SMA pada 2006 juga, Rizki merasakan kekosongan hati yang
luar biasa. Meski diterima di SMA unggulan, mendapat beasiswa prestasi,
dan mencetak nilai tertinggi, dia sudah tak bersemangat sekolah.
Akhirnya Rizki hanya satu bulan di SMA dan memilih putus sekolah.
Kepercayaannya terhadap sekolah formal luntur.
Namun, jangan dikira Rizki akan menyerah untuk mendapat pendidikan.
Dia meyakinkan sang ibu, Arlina Sariani, 50, bahwa dirinya mencari pola
belajar dengan caranya sendiri. ”Saya menamakan jalur pendidikan SMA
saya adalah
unschooling,” ceritanya saat ditemui
Jawa Pos di Grand Indonesia akhir pekan lalu (26/7).
Bukan
homeschooling yang harus membayar mahal biaya pendidikannya. Bukan juga bimbingan belajar yang masuk pendidikan nonformal.
Unschooling
merupakan jalur pendidikan tanpa lembaga, bahkan tanpa pengawasan orang
tua. Dia belajar sendiri di rumah. Sumber pendidikannya dia raih dari
membaca dan mempelajari buku-buku bekas dari saudara-saudaranya.
Sebetulnya
unschooling yang dijalani Rizki merupakan program
pemerintah untuk pendidikan informal berupa pusat kegiatan belajar
masyarakat (PKBM). Sistem itulah yang melahirkan ijazah paket. Sayang,
ijazah paket sudah kadung bercitra negatif. Hanya karena lulusan ijazah
paket, mayoritas anak-anak putus sekolah dan tak mampu secara akademik.
Akses ke perguruan tinggi juga susah karena beberapa kampus tidak
menerima pelamar dengan ijazah tersebut.
Selain
research melalui internet, Rizki pergi ke dinas
pendidikan untuk meyakinkan tetap bisa mengikuti ujian kesetaraan dengan
pola pendidikan seperti itu. Bahkan, dia tertantang mengambil ujian
paket C setara SMA dengan sistem akselerasi. Ternyata, diknas
mengizinkan Rizki dengan beberapa syarat. Salah satunya, mengikuti
placement test yang berisi ujian akademik dan tes IQ. Rupanya Rizki berhasil melampaui syarat ujian paket kesetaraan di bawah 17 tahun.
Untuk lolos tes paket, dalam sehari dia menghabiskan 22 jam untuk
belajar. Dia melumat pelajaran yang normalnya diambil tiga tahun menjadi
setahun saja. Pelajaran yang dirasa sulit dia cari jawabannya lewat
internet. Dia juga rajin membaca surat kabar. ”Ujian paket seharusnya
juga lebih sulit karena saya harus belajar enam mata pelajaran.
Sebaliknya, ujian nasional hanya tiga mata pelajaran,” tuturnya yang
saat ditemui mengenakan setelan jaket kuning dan celana jins warna
cerah. Begitu hasil ujian paket keluar, Rizki mencetak nilai sangat
tinggi dengan rata-rata 9 tiap pelajaran. Dia lulus SMA pada usia 16
tahun! ”Saat itu pun pengawas ujian sempat menyodori saya kunci jawaban
agar saya lulus. Pasti saja saya tolak,” ujarnya, lantas tersenyum
mengenang kisah ironi itu. Pendidikan pun dia dapatkan dengan sangat
murah. Selama
unschooling, dia hanya mengeluarkan biaya Rp 100 ribu. ”Untuk fotokopi ijazah,” candanya.
Pada 2007 Rizki tembus SNM PTN dan diterima sebagai mahasiswa
Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI). Bahkan, dekan
fakultasnya heran karena ada mahasiswa dengan ijazah paket. Toh, pada
2011, pada usia 20 tahun, dia justru menjadi lulusan terbaik dengan
predikat
cum laude.
Pengalaman panjangnya dalam bersekolah itu memicu Rizki untuk membuat
sekolah gratis. Tak sekadar gratis, dia membantu murid-muridnya
mendapatkan ijazah paket A, B, dan C. Yayasan pertama yang dia dirikan
adalah
masjidschooling. Dia menamai
masjidschooling karena proses pembelajarannya bertempat di teras Masjid Baiturrahman di bilangan Bintaro.
Rizki pun menjadi guru bagi puluhan muridnya yang putus sekolah.
Selain itu, dia dibantu mengajar oleh ibu-ibu rumah tangga dan para
mahasiswa STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Hingga kini
masjidschooling berjalan empat tahun.
Selain samping itu, Rizki yang saat ini menjadi konsultan di firma hukum Baker and MzKenzie juga menjadi
founder Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (YPAB) pada 2012. Berbeda dengan
masjidschooling yang cenderung
segmented
untuk warga muslim karena dikelola ibu-ibu pengajian, YPAB lebih
plural. Konsep pendidikan di YPAB juga fleksibel. Sebab, tutor di YPAB
merupakan anak-anak muda berusia 20–30 tahun dengan berbagai latar
belakang pendidikan dan profesional. Mereka menjadi relawan setia yang
mengajar tanpa bayaran.
Terkadang Rizki juga menjalin kerja sama dengan relasinya di luar
negeri seperti Meksiko dan Malaysia untuk mengajar di YPAB. Tidak pelak,
murid-murid putus sekolah yang selama ini dipandang sebelah mata oleh
masyarakat akhirnya mau tidak mau belajar
ngomong Inggris. Yang membanggakan, sudah banyak murid ”
schooling”
Rizki yang ”naik kelas”. Dari tukang jual koran menjadi pegawai admin
di media. Dari pembantu rumah tangga (PRT) menjadi admin di perkantoran.
Bahkan, Prihatin, salah seorang murid yang sehari-hari berjualan
pisang goreng di Tanah Abang, menjadi peraih nilai ujian nasional paket B
tertinggi nasional. Kini Prihatin melanjutkan paket C. Dua murid
lainnya yang bekerja sebagai PRT, ungkap Rizki, akan melanjutkan kuliah.
Kendati demikian, mengembangkan YPAB hingga memiliki ratusan murid
dari hanya dua murid bukan hal mudah. Banyak pula tekanan dari
masyarakat. Misalnya, warga pernah memprotes Rizki karena mengira
yayasannya adalah tempat berbuat mesum. Sebab, awal-awal berdiri, proses
pembelajaran YPAB di dalam kamar dan garasi. ”Pernah juga dikira tengah
melakukan kristenisasi dengan antek-antek asing,” papar Rizki yang
ingin melanjutkan kuliah
school of education di Amerika Serikat.
Namun, semua itu dilalui dengan baik. YPAB kini memiliki beberapa
cabang. Selain di Tanah Abang, juga di Bintaro, kantor Badan Koordinasi
Penanaman Modal, dan Medan. Rencananya Rizki juga mendirikan YPAB di
luar Jawa. Dari sisi kurikulum, selain menggenjot kemampuan bahasa, dia
akan menambahkan praktik
entrepreneurship.
”Saya tidak memaksa murid untuk punya nilai bagus. Tapi, menekankan
pentingnya kejujuran. Lihat, koruptor itu adalah orang-orang pintar,
namun sudah tidak jujur sejak dalam pikiran,” tegas Rizki yang juga giat
di Brunch Club, komunitas pencetus ide-ide pemula bisnis TI atau Start
Up itu.
(*/c10/kim)
sumber: http://www.jawapos.com/baca/artikel/5157/Jalani-SMA-Hanya-Setahun-Jadi-Lulusan-Cum-Laude-Fakultas-Hukum-UI-